BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seperti yang telah kita ketahui, bahwa Nabi Muhammad adalah
sosok manusia yang sempurna. Beliau adalah orang terpilih untuk dijadikan
panutan bagi umat manusia. Beliau mempunyai sifat-sifat yang Arif dan
Bijaksana. Sifat-sifat baiknya itu ditunjukkan pada semua umat manusia, baik
pada kalangan keluarga, sahabat maupun semua penduduk disekitar. Dalam
lingkungan keluarga, Nabi mendapat rahmat yang diperuntukkan bagi keluarganya.
Hidup
berkeluarga, menurut islam, harus diawali dengan pernikahan. Pernikahan itu
sendiri merupakan upacara suci yang harus di lakukan
oleh kedua calon pengantin, harus ada penyerahan dari pihak wali pengantin
putri (Ijab), harus ada penerimaan dari pihak pengantin putra (Qabul)
dan harus disaksikan oleh dua orang saksi yang adil.
Sebelum membentuk
keluarga melalui upacara pernikahan, calon suami istri hendaknya memahami hukum
berkeluarga. Dengan mengetahui dan memahami hukum berkeluarga, pasangan suami
istri akan mampu menempatkan dirinya pada hukum yang benar. Apakah dirinya
sudah diwajibkan oleh agama untuk menikah. Sehingga perhatian terhadap
kemuliaan akhlak ini menjadi satu keharusan bagi seorang suami maupun seorang
istri. Karena terkadang ada orang yg bisa bersopan santun berwajah cerah dan
bertutur manis kepada orang lain di luar rumah namun hal yg sama sulit ia lakukan di dalam rumah tangganya, maka dari itu akhlak mulia ini harus ada
pada suami dan istri sehingga bahtera rumah tangga dapat berlayar di atas
kebaikan, Sehingga
perhatian terhadap kemuliaan akhlak ini menjadi satu keharusan bagi seorang
suami maupun seorang istri. Karena terkadang ada orang yg bisa bersopan santun
berwajah cerah dan bertutur manis kepada orang lain di luar rumah namun hal yg
sama sulit ia lakukan di dlm rumah tangganya,Menyinggung
akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada keluarga maka hal ini tdk
hanya berlaku kepada para suami sehingga para istri merasa suami sajalah yg
tertuntut utk berakhlak mulia kepada istrinya,Karena akhlak mulia ini harus ada pada
suami dan istri sehingga bahtera rumah tangga dapat berlayar di atas kebaikan.
Memang suamilah yg paling utama harus menunjukkan budi pekerti yg baik dlm
rumah tangga karena dia sebagai
sebagai pimpinan. Kemudian ia di haruskan utk
mendidik anak istri di atas kebaikan sebagai upaya menjaga mereka dari api neraka sebagaimana di firmankan Allah SWT
يَا أَيُّهَا
الَّذِيْنَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ نَارًا وَقُوْدُهَا النَّاسُ
وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلاَئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادٌ لاَ يَعْصُوْنَ اللهَ مَا
أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ
“Wahai orang – orang yg
beriman jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yg bahan
bakarnya adalah manusia dan batu, penjaga
malaikat-malaikat yg kasar, yg keras, yg tdk pernah
mendurhakai Allah terhadap apa yg diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yg diperintahkan.”
Hidup
berkeluarga akan mendatangkan berbagai hikmah yang dapat dirasakan oleh para
pelakunya. Hidup berkeluarga berarti mengamalkan ajaran yang disyari’atkan.
Setelah berkeluarga, seseorang akan lebih serius dalam beribadah. Fikiran tidak
lagi memikirkan calon kekasih atau terganggu
B.
Rumusan
Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang
tersebut, maka penulis memperoleh beberapa perumusan masalah.rumusan masalah
itu antara lain adalah :
1.
Bagaimana Urgensi Keluarga dalam
Hidup Manusia?
2.
Bagaimana Akhlakul Karimah dalam Rumah Tangga?
3.
Bagaimana Akhlak Suami atau Isteri?
4.
Bagaimana Akhlak Orang Tua Kepada Anak?
5.
Bagaimana Akhlak anak terhadap Orang Tua?
6. Bagaimana Membangun
Keluarga Sakinah?
7.
Bagaimana Larangan kekerasan dalam rumah
tangga?
C.
Tujuan
Tujuan penyusun makalah ini antara lain
:
1.
Untuk Mengetahui Urgensi Keluarga dalam
Hidup Manusia
2.
Untuk Mengetahui Akhlakul Karimah dalam Rumah Tangga
3.
Untuk Mengetahui Akhlak
Suami atau Isteri
4.
Untuk Mengetahui Akhlak Orang Tua Kepada Anak
5.
Untuk Mengetahui Akhlak
anak terhadap Orang Tua
6.
Untuk Mengetahui Membangun
Keluarga Sakinah
7.
Untuk Mengetahui Larangan
kekerasan dalam rumah tangga
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Urgensi
Keluarga dalam Hidup Manusia
Secara
sosiologis keluarga merupakan golongan masyarakat terkecil yang terdiri atas
suami-isteri-anak. Pengertian demikian mengandung dimensi hubungan darah dan
juga hubungan sosial. Dalam hubungan darah keluarga bisa dibedakan menjadi
keluarga besar dan keluarga inti, sedangkan dalam dimensi sosial, keluarga
merupakan suatu kesatuan sosial yang diikat oleh saling berhubungan atau interaksi
dan saling mempengaruhi, sekalipun antara satu dengan lainnya tidak terdapat
hubungan darah.
Pengertian
keluarga dapat ditinjau dari perspektif psikologis dan
sosiologis. Secara Psikologis, keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup
bersama dalam tempat tinggal bersama dan masing-masing anggota merasakan adanya
pertautan batin sehingga terjadi saling mempengaruhi, saling memperhatikan, dan
saling menyerahkan diri. Sedangkan pengertian secara sosiologis, keluarga
adalah satu persekutuan
hidup yang dijalin oleh kasih sayang antara pasangan dua jenis manusia yang
dikukuhkan dengan pernikahan, dengan maksud untuk saling menyempurnakan diri,
saling melengkapi satu dengan yang lainnya.
Dalam suatu
keluarga keutuhan sangat diharapkan oleh seorang anak, saling membutuhkan,
saling membantu
dan lain-lain, dapat mengembangkan potensi diri dan kepercayaan pada diri anak. Dengan demikian diharapkan upaya orang tua
untuk membantu anak menginternalisasi nilai-nilai moral dapat terwujud dengan baik.
Keluarga yang
seimbang adalah keluarga yang ditandai oleh adanya keharmonisan hubungan atau
relasi antara ayah dan ibu serta anak-anak dengan saling menghormati dan saling
memberi tanpa harus diminta. Pada saat ini orang tua berprilaku proaktif dan
sebagai pengawas tertinggi yang lebih menekankan pada tugas dan saling
menyadari perasaan satu sama lainnya. Sikap orang tua lebih banyak pada upaya
memberi dukungan, perhatian, dan garis-garis pedoman sebagai rujukan setiap
kegiatan anak dengan diiringi contoh teladan, secara praktis anak harus
mendapatkan bimbingan, asuhan, arahan serta pendidikan dari orang tuanya,
sehingga dapat mengantarkan seorang anak menjadi berkepribadian yang sejati
sesuai dengan ajaran agama yang diberikan kepadanya. Lingkungan keluarga sangat
menentukan berhasil tidaknya proses pendidikan, sebab di sinilah anak pertama
kali menerima sejumlah nilai pendidikan.
Tanggung jawab
dan kepercayaan yang
diberikan oleh orang tua
dirasakan oleh anak dan akan menjadi
dasar peniruan dan identifikasi diri untuk berperilaku. Nilai moral yang
ditanamkan sebagai landasan utama bagi anak pertama kali diterimanya dari orang
tua, dan juga tidak kalah pentingnya komunikasi dialogis sangat diperlukan oleh
anak untuk memahami berbagai persoalan-persoalan yang tentunya dalam tingkatan
rasional, yang dapat melahirkan kesadaran diri untuk senantiasa berprilaku taat
terhadap nilai moral dan agama yang sudah digariskan.
Sentralisasi
nilai-nilai agama dalam
proses internalisasi pendidikan agama pada anak mutlak
dijadikan sebagai sumber pertama dan sandaran utama dalam mengartikulasikan
nilai-nilai moral agama yang dijabarkan dalam kehidupan kesehariannya.
Nilai-nilai agama sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan keluarga,
agama yang ditanamkan oleh orang tua sejak kecil kepada anak akan membawa
dampak besar dimasa dewasanya, karena nilai-nilai agama yang diberikan
mencerminkan disiplin diri yang bernuansa agamis.
Di dalam keluarga anak pertama kali
mengikuti irama pergaulan sosial. Suasana seperti ini disebut dengan situasi
domestik, tempat lingkungan pergaulan anak hanya terbatas dengan sejumlah orang
yang terdapat di dalam keluarga tersebut, seperti ibu, ayah, kakak, adik atau
nenek/kakek.
Di dalam keluarga inilah pertama
kali anak terlibat dalam interaksi edukatif. Anak belajar berdiri, berbicara,
bermain, berpakaian, mandi, menyikat gigi dan lain-lain. Keluarga bertugas
meneruskan dan mewariskan sejumlah nilai baik berkaitan dengan kultural, sosial
maupun moral kepada anak-anak yang baru tumbuh di dalam rumah tangga. Di sini
pula anak diajar mengenal siapa dirinya dan lingkungannya.
Di dalam keluarga, kebutuhan pribadi
anak seperti yang disampaikan oleh Abraham Maslow juga berlangsung. Pada tahap
awal, anak memerlukan kebutuhan dasar seperti makan dan minum, kemudian
meningkat kepada kebutuhan akan kasih sayang dan penghargaan, lalu meningkat
lagi menjadi kebutuhan terhadap keamanan dan kesehatan serta pada waktunya anak
memerlukan self actualization (mencari pemaknaan terhadap siapa
dirinya).
Keluarga juga berperan menjadi
benteng pertahanan dari sejumlah pengaruh yang datang dari luar. Tidak jarang
anak menanyakan sesuatu problem yang datang dari luar yang dia sendiri canggung
untuk menjawab atau mengatasinya. Karena itu, rujukan utama anak adalah
keluarga. Di sinilah diperlukan hadirnya sosok orang tua yang bijaksana dan
memiliki wawasan yang cukup untuk menerangkan kepada anak tentang apa yang
dihadapinya. Dengan demikian, anak tidak mudah dipengaruhi oleh faktor-faktor
eksternal yang dapat menyesatkan dirinya.
Di samping menjadi institusi
domestik, keluarga juga dapat menjadi institusi sosialisasi sekunder. Maksudnya
adalah bahwa keluarga berperan menghantarkan anak-anak untuk memasuki wilayah
sosial yang lebih besar, seperti lingkungan sosial. Dalam konteks ini, keluarga
menjadi pengatur dan designer anak untuk memilih lingkungan mana yang
tepat dan baik dalam menumbuhkan kepribadian. Keluarga bertanggung jawab untuk
mengarahkan anak-anaknya memasuki lingkungan sosial yang baik agar anak terhindari dari
pengaruh lingkungan yang tidak sehat.
B.
Akhlakul Karimah dalam Rumah Tangga
Secara terminologi, akhlak adalah pola perilaku
yang berdasarkan kepada dan memanifestasikan nilai-nilai Iman, Islam dan Ihsan.
Menurut Imam Ghazali, akhlak yaitu suatu keadaan yang tertanam di dalam jiwa
yang menampilkan perbuatan dengan senang tanpa memerlukan penelitian dan
pemikiran.
Sedangkan karimah berarti mulia,
terpuji, baik. Apabila perbuatan yang keluar atau yang dilakukan itu baik dan
terpuji menurut syariat dan akal maka perbuatan itu dinamakan akhlak yang mulia
atau akhlakul karimah.
Sebelum membahas akhlak terhadap
suami atau isteri, maka timbullah pertanyaan, mengapa orang ingin hidup berumah
tangga ? Karena pernikahan dalam Islam bertujuan untuk membangun pondasi
pertama dalam sebuah komunitas masyarakat, yang dibangun dalam sebuah ikatan sangat kuat serta
dibalut dengan rasa cinta, kasih sayang dan saling menghormati.
Dengan demikian timbul lagi sebuah
pertanyaan, siapkah anda menikah ? Kesiapan berumah tangga secara islami harus dibentuk melalui peristiwa pernikahan antara
laki-laki dan perempuan muslimah, yang
tentunya diawali dengan persiapan-persiapan diantaranya ;
a.
Persiapan Ruhiyah (mental), siap
menghadapi cobaan dan siap menyelesaikan masalah
b. Persiapan
Ilmiah (mengetahui berbagai etika dan aturan berumah tangga)
c. Persiapan
Jasadiyah (siap memungsikan diri sebagai isteri atau suami)
d. Memilih istri
atau suami sesuai dengan kreteria agama
e. Memahami
hakikat pernikahan dalam Islam (membangun keluarga sakinah mawaddah warahmah)
f. persiapan material sesuai kemampuan
Tujuan Perkawinan
a.
Untuk meneruskan wujudnya keturunan
manusia
b. Pemeliharaan
terhadap keturunan
c. Menjaga
masyarakat dari sifat yang tidak bermoral
d. Menjaga
ketenteraman jiwa
e. Memberi
perlindungan kepada anak yang dilahirkan
Proses Lahirnya Cinta
a.
Merasakan adanya kedekatan diantara mereka
berdua, saling memperkenalkan diri secara terbuka
- Masing-masing merasakan ketenangan dan rasa aman untuk berbicara tentang dirinya lebih mendalam (pengungkapan diri)
- Merasakan adanya saling ketergantungan antara berdua (saling berbagi rasa dalam kegembiraan dan kesedihan)
- Adanya penuhan kebutuhan pribadi kekasihnya, dia rela mengorbankan apa yang dimikinya demi kebutuhan sang kekasih dengan senang hati dan ketulus ikhlasan, tahap inilah yang disebut dengan cinta sejati yang disebut dalam Al Qur’an dengan Mawaddah
- Pada hakikatnya, hidup adalah untuk beribadah kepada Allah swt semata sebagaimana firman Allah swt yang artinya: “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” QS. Adz Dzariyaat:56
- Ketenteraman dalam beribadah akan semakin mudah diraih manakala ketenteraman kehidupan pun ada. Dan ketenteraman hidup tentunya akan sangat membutuhkan timbal balik akhlakul karimah antar individu (Khususnya suami isteri).
C.
Akhlak
Suami atau Isteri
a.
Menjadikan
Pasangan sebagai pusat perhatian (sejak awal tidur – bangun tidur yang lihat hanya pasangan)
b.
Menempatkan
kepribadian sebagai seorang suami atau isteri (isteri pakaian untuk suami dan
begitu juga sebaliknya)
c.
Jangan
menabur benih keraguan/kecurigaan
d.
Merasakan
tanggung jawab bersama baik suami maupun isteri (saling mengingatkan dan jangan
selalu menuntut)
e.
Selalu
bermusyawarah (berdialog), lakukan komunikasi dengan baik, instospeksi
masing-masing
f.
Menyiapkan
diri untuk melakukan peranan sebagai suami atau isteri
g.
Nampakkan
cinta dan kebanggaan dengan pasangannya/jangan kikir memberi pujian
h.
Adanya
keseimbangan ekonomi dalam mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan
i.
Jangan
melupakan dengan keluarga besar masing-masing (ortu)
j.
Menjaga
hubungan dengan pihak lain.
Hal-hal
yang harus diperhatikan oleh Suami
a. Memberi nafkah
zahir dan batin, Suami hendaknya menyadari bahwa istri adalah suatu ujian dalam menjalankan agama. (At-Taubah: 24)
b. Seorang
istri bisa menjadi musuh bagi suami dalam mentaati Allah dan Rasul- Nya. (At-Taghabun: 14)
c. Hendaknya
senantiasa berdo’a kepada Allah meminta istri yang sholehah. (Al Furqan : 74)
d. Diantara
kewajiban suami terhadap istri, ialah: Membayar mahar, Memberi
e. Nafkah
(makan, pakaian, tempat tinggal), Menggaulinya dengan baik, ( AI-Ghazali)
f. Jika istri berbuat ‘Nusyuz’, maka
dianjurkan melakukan tindakan berikut ini
secara berurutan: (1) Memberi nasehat, (2) Pisah kamar,
(3) Memukul dengan (4). pukulan yang tidak menyakitkan. (An-Nisa’: 34)
… ‘Nusyuz’ adalah: Kedurhakaan istri kepada suami dalam hal ketaatan kepada
Allah.
g. Orang mukmin yang paling sempurna
imannya ialah, yang paling baik
akhlaknya dan paling ramah
terhadap istrinya/keluarganya. (Tirmudzi)
h. Suami tidak boleh kikir dalam menafkahkan
hartanya untuk istri dan
anaknya.(Ath-Thalaq: 7)
i.
Suami wajib selalu memberikan
pengertian, bimbingan agama kepada istrinya, dan menyuruhnya untuk selalu taat
kepada Allah dan Rasul-Nya. (AI-Ahzab: 34,
At-Tahrim : 6, Muttafaqun Alaih)
j.
Suami wajib mengajarkan istrinya
ilmu-ilmu yang berkaitan dengan wanita (hukum-hukum haidh, istihadhah, dll.).
(AI-Ghazali)
k. Suami wajib
berlaku adil dan bijaksana terhadap istri. (An-Nisa’: 3)
l.
Suami tidak boleh membuka aib istri kepada
siapapun. (Nasa’i)
m. Apabila istri tidak mentaati suami (durhaka kepada
suami), maka suami wajib mendidiknya dan membawanya kepada
ketaatan, walaupun secara paksa. (AIGhazali)
Jadilah kau raja di rumahmu. Cintailah
isterimu dengan tulus dan jadikanlah ia sebagai ratumu. Buat ia bangga menjadi
permaisuri di kerajaanmu dengan berlandaskan cinta kasih dan ketaatan kepada
Allah SWT. Berikanlah dirinya makanan yang cukup dan persembahkan untuknya
beragam jenis pakaian. Belikan untuknya minyak wangi karena wanita menyukai
minyak wangi. Buatlah dirinya bahagia selama kau hidup dan berilah nafkah yang
baik dan halal untuk isteri dan anak – anakmu. Sesungguhnya
seorang istri laksana cermin bagi suaminya dan menjadi bukti akan apa yang
diusahakannya dalam mencapai kebahagiaan ataupun kesengsaraan. Engkau adalah
laksana pakaian baginya yang mampu menampakkan kecantikan diri dan pribadinya
serta menutupi setiap kekurangannya. Jangan terlalu keras dalam rumah tanggamu
karena isteri diciptakan dari tulang rusukmu, bagian dari dirimu. Tulang rusuk
berada di tempat yang terlindung sehingga isterimu pun ada untuk kau lindungi.
Sebagaimana tulang rusuk yang bengkok, berwasiatlah yang baik terhadap isterimu
karena jika engkau keras dalam meluruskan maka ia akan patah dan jika engkau
biarkan maka selamanya ia akan bengkok.
Hak dan Kewajiban Suami Isteri dalam
Islam
Hak Bersama Suami Istri.
Suami istri, hendaknya saling menumbuhkan suasana mawaddah dan rahmah. (Ar-Rum: 21).
·
Hendaknya saling mempercayai dan
memahami sifat masing-masing pasangannya.
(An-Nisa’: 19 - Al-Hujuraat: 10)
·
Hendaknya menghiasi dengan pergaulan
yang harmonis. (An-Nisa’: 19)
·
Hendaknya saling menasehati dalam
kebaikan.
Hal-hal yang
harus diperhatikan oleh Istri
a.
Berbakti kepada suami baik dikala suka maupun duka, diwaktu kaya
maupun miskin
b.
Patuh dan taat pada suami,
menghormatinya dalam batas-batas tertentu sesuai dengan ajaran Islam
c.
Selalu menyenangkan hati dan
perasaan suami, serta dapat menentramkan pikirannya
d.
Menghargai usaha atau jerih payah
suami dan bahkan membantu suami dalam menyelesaikan kesulitan yang dihadapinya
e.
Isteri menyadari dan menerima dengan
ikhlas bahwa kaum laki-laki adalah
pemimpin kaum wanita. (An-Nisa’: 34)
f.
Isteri menyadari bahwa hak (kedudukan)
suami setingkat lebih tinggi daripada istri. (Al-Baqarah: 228)
g.
Isteri wajib mentaati suaminya selama
bukan kemaksiatan. (An-Nisa’: 39)
h.
Isteri menyerahkan dirinya, mentaati
suami, tidak keluar rumah, kecuali dengan ijinnya, tinggal di tempat kediaman
yang disediakan suami, menggauli suami dengan baik, dan bersifat
jujur (Al-Ghazali).
D. Akhlak Orang
Tua Kepada Anak
Dalam ajaran Islam diatur bagaimana
hubungan antara anak-anaknya serta hak dan kewajiban mnasing-masing. Orang tua
harus mengikat hubungan yang harmonis dan penuh kasih sayang dengan
anak-anaknya. Sebaik-baik
orang tua adalah orang tua yang mampu membuat anaknya menjadi generasi rabbani,
yang memiliki akhlak dan adab seperti Rasulullah SAW. Poin yang terpenting adalah teladan dari orang tuanya.
Nabi Muhammad SAW diutus ke dunia
ini tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia. Akhlak sangat
berkaitan dengan adab. Untuk itulah beliau mengajarkan kita adab sejak bangun
tidur hingga tidur. Semua ada tuntunannya. Termasuk adab anak kepada orang
tuanya, murid kepada gurunya, pendidik
kepada peserta didik.
Para pakar pendidikan sering mengatakan bahwa ketika orang tua mengajarkan adab
kepada anaknya, walaupun sebelumnya ia juga belum melakukan adab itu, dengan
belajar adab tersebut bersama anaknya, maka hal itu bisa berubah menjadi
kebiasaan dalam beradab. Hal ini akan berujung pada terbentuknya karakter yang
bagus.
Keberhasilan anak bukan karena guru,
tapi dengan orang tuanya. Anak berprestasi bukan karena gurunya, tapi karena
orang tuanya sudah mencetak generasi yang seperti itu. Sebaik-baik orang
tua adalah orang tua yang mampu membuat anaknya menjadi generasi rabbani, yang
memiliki akhlak dan adab seperti Rasulullah SAW. Semoga dengan informasi
tentang cara mengajarkan akhlak yang baik kepada anak ini, kita bisa menjadikan anak menjadi generasi rabbani dan beradab. Orang
tua harus lebih memperhatikan, membimbing, dan mendidik anak dengan baik,
sehingga tercapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Allah Swt berfirman dalam Al-Qur’an
Surat An-Nisa :9:
وَلْيَخْشَ ٱلَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا۟ مِنْ خَلْفِهِمْ
ذُرِّيَّةً ضِعَٰفًا خَافُوا۟ عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْيَقُولُوا۟
قَوْلًا سَدِيدًا
“Dan
hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan
keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan)-nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah,
dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar”. (QS.
An-Nisa’:9)
Ayat di atas mengisyaratkan kepada
orang tua agar tidak meninggalkan anak dalam keadaan lemah. Lemah dalam hal ini
adalah lemah dalam segala aspek kehidupan, seperti lemah mental, psikis, pendidikan, ekonomi terutama
lemah iman (spiritual).
Anak yang lemah iman akan menjadi generasi tanpa kepribadian. Jadi, semua orang
tua harus memperhatikan semua aspek perkembangan anak, baik dari segi
perhatian, kasih sayang, pendidikan mental, maupun masalah akidah atau
keimananya.
Oleh karena itu, para orang tua
hendaklah bertakwa kepada Allah, berlaku lemah lembut kepada anak, karena
sangat membantu dalam menanamkan kecerdasan spiritual pada anak. Keadaan anak
ditentukan oleh cara-cara orang tua mendidik dan membesarkannya.
Ada beberapa langkah yang dapat
dilaksanakan oleh orang tua dalam peranannya mendidik anak, antara lain:
a.
Orang tua sebagai panutan
b.
Orang tua sebagai motivator anak
c.
Orang tua sebagai cermin utama anak
d. Orang tua
sebagai fasilitator anak
E. Akhlak anak terhadap Orang Tua
Orang
tua adalah perantara perwujudan kita. Kalaulah mereka itu tidak ada, kitapun
tidak akan pernah ada. Kita tahu bahwa perwujudan itu disertai dengan kebaikan
dan kenikmatan yang tak terhingga banyaknya., berbagai rizki yang kita peroleh
dan kedudukan yang kita raih. Orang tua sering kali mengerahkan segenap jerih
paya mereka untuk menghindarkan bahaya dari diri kita. Mereka bersedia kurang
tidur agar kita bisa beristirahat. Mereka memberikan kesenangan-kesenangan
kepada kita yang tidak bisa kita raih sendiri. Mereka memikul berbagai
penderitaan dan mesti berkorban dalam bentuk yang sulit kita bayangkan.
Menghardik kedua orang tua dan
berbuat buruk kepada mereka tidak mungkin terjadi kecuali dari jiwa yang bengis
dan kotor, berkurang dosa, dan tidak bisa diharap menjadi baik. Sebab,
seandainya seseorang tahu bahwa kebaikan dan petunjuk Allah SWT mempunyai
peranan yang sangat besar, berbuat baik
kepada orang adalah kewajiban dan semestinya
mereka diperlakukan dengan baik, bersikap mulia terhadap orang yang telah
membimbing, berterima kasih kepada orang yang telah memberikan kenikmatan
sebelum dia sendiri bisa mendapatkannya, dan yang telah melimpahinya dengan
berbagai kebaikan yang tak mungkin bisa di balas. Orang tua adalah orang-orang
yang bersedia berkorban demi anaknya, tanpa memperdulikan apa balasan yang akan
diterimanya.
a.
Kewajiban
kepada ibu
Kalau ibu merawat jasmani dan
rohaninya sejak kecil secara langsung, maka bapak pun merawatnya, mencari
nafkahnya, membesarkannya, mendidiknya dan menyekolahkannya, disanping usaha
ibu. Kalau mulai mengandung sampai masa muhariq (masa dapat
membedakan mana yang baik dan buruk), seorang ibu sangat berperan, maka setelah
mulai memasuki masa belajar, ayah lebih tampak kewajibannya, mendidiknya dan
mempertumbuhkannya menjadi dewasa, namun apabila dibandingkan antara berat
tugas ibu dengan ayah, mulai mengandung sampai dewasa dan sebagaimana perasaan
ibu dan ayah terhadap putranya, maka secara perbandingan, tidaklah keliru
apabila dikatakan lebih berat tugas ibu dari pada tugas ayah. Coba bandingkan,
banyak sekali yang tidak bisa dilakukan oleh seorang ayah terhadap anaknya,
yang hanya seorang ibu saja yang dapat mengatasinya tetapi sebaliknya banyak
tugas ayah yang bisa dikerjakan oleh seorang ibu. Barangkali karena demikian
inilah maka penghargaan kepada ibunya. Walaupun bukan berarti ayahnya tidak
dimuliakan, melainkan hendaknya mendahulukan ibu daripada mendahulukan ayahnya
dalam cara memuliakan orang tua
b.
Berbuat
baik kepada ibu dan bapak
Seorang anak menurut ajaran Islam diwajibkan
berbuat baik kepada ibu dan ayahnya, dalam keadaan bagaimanapun. Artinya jangan
sampai si anak menyinggung perasaan orang tuanya, walaupun seandainya orang tua
berbuat zalim kepada anaknya, dengan melakukan yang tidak semestinya, maka
jangan sekali-kali si anak berbuat tidak baik, atau membalas, mengimbangi
ketidakbaikan orang tua kepada anaknya, Allah SWT tidak meridhainya sehingga
orang tua itu meridhainya. Allah berfirman dalam Al Qur’an Surat Al-Luqman : 14
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ
أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي
وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
Artinya:“Dan Kami perintahkan kepada
manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah
mengandungnya dalam keadaan lemah dan bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam
dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang ibu bapakmu, hanya
kepada-Ku lah kembalimu” (QS.Al-Luqman:14)
Menurut ukuran secara umum, si orang
tua tidak sampai akan menganiaya kepada anaknya. Kalaulah itu terjadi
penaniayaan orang tua kepada anaknya adalah disebakan perbuatan si anak itu
sendiri yang menyebabkan marah dan penganiayaan orang tua kepada anaknya. Didalam
kasus demikian seandainya si orang tua marah kepada anaknya dan berbuat aniaya
sehingga ia tiada ridha kepada anaknya, Allah SWT pun tidak meridhai si anak
tersebut lantaran orang tua
c. Berkata halus dan mulia kepada ibu
dan ayah
Segala sikap orang tua terutama ibu
memberikan refleksi yang kuat terhadap sikap si anak. Dalam hal berkata pun
demikian. Apabila si ibu sering menggunakan kata-kata halus kepada anaknya, si
anak pun akan berkata halus. Kalau si ibu atau ayah sering mempergunakan
kata-kata yang kasar, si anakpun akan mempergunakan kata-kata kasar, sesuai
yang digunakan oleh ibu dan ayahnya. Sebab si anak mempunyai insting menir yang
lebih mudah ditiru adalah orang yang terdekat dengannya, yaitu orang tua,
terutama ibunya. Agar anak berlaku lemah lembut dan sopan kepada orang tuanya,
harus dididik dan diberi contoh sehari-hari oleh orang tuanya bagaimana
sianak berbuat, bersikap, dan berbicara.
Kewajiban anak kepada orang tuanya menurut ajaran Islam harus berbicara sopan, lemah-lembut dan
mempergunakan kata-kata mulia. Sebagai pedoman dalam memberikan perlakuan
yang baik kepada kedua orang tua, ingatlah Firman Allah dalam surah Al Isra ayat 23
dan 24 yang Artinya : Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya. jika salah seorang di antara keduanya atau Kedua-duanya sampai
berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya Perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka
dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu
terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai
Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik
aku waktu kecil".
d.
Berbuat
baik kepada ibu dan ayah yang sudah meninggal dunia
Bagaimana berbuat baik seorang anak kepada ibu dan ayahnya
yang sudah tiada. Dalam hal ini menurut tuntunan ajaran Islam sebagaimana Sabda
Nabi Muhammad SAW, yang diriwayatkan oleh Abu Usaid yang artinya: ”Kami pernah berada pada suatu
majelis bersama Nabi, seorang bertanya kepada Rasulullah SAW: Wahai Rasulullah,
apakah ada sisa kebajikan setelah keduanya meninggal dunia yang aku untuk
berbuat sesuatu kebaikan kepada kedua orang tuaku. “Rasulullah SAW bersabda:
”Ya, ada empat hal :”mendoakan dan
memintakan ampun untuk keduanya, menempati / melaksanakan janji keduanya,
memuliakan teman-teman kedua orang tua, dan bersilaturrahim yang engkau tiada
mendapatkan kasih sayang kecuali karena kedua orang tua”.
Hadist ini menunjukkan cara kita berbuat baik kepada ibu dan
ayah kita, apabila beliau-beliau itu sudah tiada yaitu:
a.
Mendoakan ayah ibu yang telah tiada
itu dan meminta ampun kepada Alloh SWT dari segala dosa orang tua kita.
b. Menepati janji kedua ibu bapak.
Kalau sewaktu hidup orang tua mempunyai janji kepada seseorang, maka anaknya
harus berusaha menunaikan menepati janji tersebut. Umpamanya beliau akan naik
haj, yang belum sampai melaksanakannya, maka kewajiban anaknya menunaikan haji
orang tua tersebut.
c. Memuliakan teman-teman kedua orang
tua. Diwaktu hidupnya ibu atau ayah mempunyai teman akrab, ibu atau ayah saling
tolong-menolong dengan temannya dalam bermasyarakat. Maka untuk berbuat
kebajikan kepada kedua orang tua kita yang telah tiada, selain tersebut di
atas, kita harus memuliakan teman ayah dan ibu semasa ia masih hidup.
d. Bersilalaturrahmi kepada orang yang
kita mempunyai hubungan karena kedua orang tua. Maka terhadap orang yang
dipertemukan oleh ayah atau ibu sewaktu masih hidup, maka hal itu termasuk
berbuat baik kepada ibu dan bapak kita yang sudah meninggal dunia.
Akhlak anak terhadap kedua orang tua
menurut al-Ghazali masih relevan bagi pemuda Islam pada masa sekarang, karena
berdasarkan atas al-Qur'an dan Hadits. Akan tetapi anak yang diterlantarkan
orang tua sejak kecil, membuat mereka tidak dapat menghayati tanggung jawab
orang tua terhadapnya, tanggung jawab anak terhadap orang tua terhadap anak dan
akan menyebabkan mereka tidak berbuat baik kepada orang tua. Sayangilah,
cintailah, hormatilah, patuhlah kepadanya rendahkan dirimu, sopanlah kepadanya.
Oleh karena itu orang tua dan anak harus sama-sama memperhatikan tanggung jawab
dan haknya masing-masing, antara hak-hak orang tua terhadap anak dan
sebaliknya, supaya akhlak atau etika anak terhadap kedua orang tua berjalan
dengan baik dan sesuai dengan ajaran agama.
F.
Membangun
Keluarga Sakinah
Apa itu
keluarga Sakinah ? Keluarga sakinah adalah keluarga yang bahagia
sejahtera, penuh dengan cinta kasih, sekalipun perkawinan sudah berjalan puluhan
tahun namun aroma cinta kasihnya masih tetap terasa dalam hubungan suami isteri. Allah berfirman dalam surah Ar- Rum ayat : 21
“Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya
Dia menciptakan untuk kalian isteri dari species kalian agar kalian merasakan
sakinah dengannya; Dia juga menjadikan di antara kalian rasa cinta dan kasih
sayang. Sesungguhnya dalam hal itu terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang
berpikir.” (Ar-Rûm: 21)”.
Dalam
ayat ini ada kalimat “Litaskunû”, supaya kalian memperoleh atau
merasakan sakinah. Jadi sakinah itu ada pada diri dan pribadi perempuan.
Laki-laki harus mencarinya di dalam diri dan pribadi perempuan. Tapi perlu
diingat laki-laki harus menjaga sumber sakinah, tidak mengotori dan menodainya.
Agar sumber sakinah itu tetap terjaga, jernih dan suci, dan mengalir tidak
hanya pada kaum bapak tetapi juga anak-anak sebagai anggota rumah tangga, dan
gerasi penerus.
Dalam
bahasa Arab “Sakinah” sendiri memiliki arti tenang, aman, damai, serta penuh
kasih sayang. Pastinya konteks Keluarga Sakinah ini adalah idaman bagi setiap
Muslim. “Mawaddah” sendiri berarti Cinta, kasih sayang yang tulus kepada
pasangan dan keluarganya. Dengan sifat ini diharapkan keluarga Muslim dapat
bertahan sekalipun harus mendapatkan cobaan dalam dinamika rumah tangganya. “Wa
Rahmah” terdiri dari dua kata, yaitu “Wa” yang berarti dan, dan “Rahmah”
yang berarti Rahmat, karunia, berkah, dan anugerah. Tentunya hal ini diharapkan
agar keluarga senantiasa berada di jalan yang benar dan mendapatkan segala
Rahmat disisi Allah SWT
Bagaimana agar
pernikahan tetap romantis ? Ada 3 faktor
yang harus diperhatikan;
a.
Selesaikan kejengkelan- kekesalan, dalam interaksi suami isteri baik masa lalu
maupun saat sekarang
b.
Hubungan romantis suami isteri sangat prioritas
dalam kehidupan (sediakan waktu untuk berdua-duaan) saling bercerita, ungkapkan
perasaan menyenangkan/kemesraan ketika baru menikah
c.
Buat kegiatan baru yang menyenangkan atau
bervariasi
Ciri Hubungan
Keluarga yang sehat
-
Power and intimacy
(Kekuatan/kekuasaan dan keintiman). Perasaan memiliki hak yng sama untuk
berpartisipasi dalam mengambil keputusan
-
Homesty and freedom of expression (Kejujuran
dan kebebasan berpendapat),
tradisi diskusi atau dialog dalam
keluarga
-
Warmth, joy and humor (Kehangatan, kegembiraan dan humor), adanya
saling percaya dan keceriaan diantara keluarga
-
Organization and negotiating Skill,
( Ketrampilan organisasi dan negosiasi), kemampuan
untuk melakukan negosiasi, kepala keluarga sebagai pimpinan organisasi, bukan sebagai komandan
yang hanya bisa memerintah, membina komunikasi yang baik
-
Values system (Sistem nilai), keluarga
memiliki pegangan bersama, misalnya nilai moral keagamaan merupakan acuan pokok
dalam melihat realitas kehidupan yang harus diperhatikan sebagai rambu-rambu
ketika mengambil keputusan
-
Power and intimacy
(Kekuatan/kekuasaan dan keintiman). Perasaan memiliki hak yng sama untuk
berpartisipasi dalam mengambil keputusan
-
Homesty and freedom of expression (Kejujuran
dan kebebasan berpendapat),
tradisi diskusi atau dialog dalam
keluarga
-
Warmth, joy and humor (Kehangatan, kegembiraan dan humor), adanya
saling percaya dan keceriaan diantara keluarga
-
Organization and negotiating Skill,
( Ketrampilan organisasi dan negosiasi), kemampuan
untuk melakukan negosiasi, kepala keluarga sebagai pimpinan organisasi, bukan sebagai komandan
yang hanya bisa memerintah, membina komunikasi yang baik
-
Values system (Sistem nilai), keluarga
memiliki pegangan bersama, misalnya nilai moral keagamaan merupakan acuan pokok
dalam melihat realitas kehidupan yang harus diperhatikan sebagai rambu-rambu
ketika mengambil keputusan
Cinta yang
selalu Bersemi dalam berumah tangga
-
Saling memberi hadiah walaupun itu
hanya simbolis
-
Pandangan yang memancarkan cinta dan
kekaguman
-
Penghormatan yang hangat
-
Meluangkan waktu khusus untuk
berbincang dan berdialog bersama
-
Memberikan pujian kepada pasanganu
-
Bekerjasama dalam melakukan tugas-tugas
-
Mengatur tempat tidur dengan baik
-
Menghargai dan memberi pujian
kepada pasangan
-
Ikut serta dalam menyalurkan hobby
-
Menyiapkan sarana-sarana untuk
bercumbu dan bercanda
-
Mengajarkan kepada anak cara-cara
yang baik
-
Memperbanyak doa,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam selaku uswatun hasanah (suri tauladan yang baik) yang patut
dicontoh telah membimbing umatnya dalam hidup berumah tangga agar tercapai
sebuah kehidupan rumah tangga yang sakinah
mawaddah warohmah. Bimbingan tersebut baik secara lisan melalui sabda
beliau shallallahu ‘alaihi wasallam maupun secara amaliah, yakni
dengan perbuatan/contoh yang beliau shalallahu ‘alaihi wasallam lakukan.
Diantaranya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa
menghasung seorang suami dan isteri untuk saling ta’awun (tolong
menolong, bahu membahu, bantu membantu) dan bekerja sama dalam bentuk saling
menasehati dan saling mengingatkan dalam kebaikan dan ketakwaan,
sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam:
اسْتَوْصُوا
بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ
فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ
لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ
فَاسْتَوْصُوا
بِالنِّسَاءِ
“Nasehatilah isteri-isteri kalian
dengan cara yang baik, karena sesungguhnya para wanita diciptakan dari tulang
rusuk yang bengkok dan yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah bagian
atasnya (paling atas), maka jika kalian (para suami) keras dalam meluruskannya
(membimbingnya), pasti kalian akan mematahkannya. Dan jika kalian membiarkannya
(yakni tidak membimbingnya), maka tetap akan bengkok. Nasehatilah isteri-isteri
(para wanita) dengan cara yang baik.” (Muttafaqun ‘alaihi. Hadits shohih,
dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Cara meraih kehidupan yang sakinah
1.
Berdzikir
Ketahuilah,
dengan berdzikir dan memperbanyak dzikir kepada Allah, maka
seseorang akan memperoleh ketenangan dalam hidup (sakinah). Allah subhanahu
wata’ala berfirman (artinya):“Ketahuilah, dengan berdzikir kepada Allah,
(maka) hati (jiwa) akan (menjadi) tenang.” (Ar Ra’d: 28)Baik dzikir
dengan makna khusus, yaitu dengan melafazhkan dzikir-dzikir
tertentu yang telah disyariatkan, misal:أَسْتَغْفِرُالله , dan lain-lain, maupun dzikir
dengan makna umum, yaitu mengingat, sehingga mencakup/meliputi segala jenis ibadah
atau kekuatan yang dilakukan seorang hamba dalam rangka mengingat Allah subhanahu
wata’ala, seperti sholat, shoum (puasa), shodaqoh, dan
lain-lain
2.
Menuntut
ilmu agama
Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ
بُيُوتِ اللهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ
نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ
“Tidaklah berkumpul suatu kaum/kelompok disalah satu rumah dari rumah-rumah
Allah (masjid), (yang mana) mereka membaca Al Qur`an dan mengkajinya diantara
mereka, kecuali akan turun (dari sisi Allah subhanahu wata’ala) kepada mereka
as sakinah (ketenangan).” (Muttafaqun ‘alaihi. Hadits shohih,
dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Dalam
hadits diatas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan kabar
gembira bagi mereka yang mempelajari Al Qur`an (ilmu agama), baik dengan
mempelajari cara membaca maupun dengan membaca sekaligus mengaji makna serta tafsirnya,
yaitu bahwasanya Allah akan menurunkan as sakinah (ketenangan jiwa) pada
mereka.
Setiap
manusia selalu menginginkan keluarga yang sakinah, mawaddah dan warohmah, untuk
itu apa saja sih yang harus dilakukan untuk mencapai keluarga yang di impikan.
ikuti yuk tips dari keluarga sakinah ini :
1.
Jangan
Melihat ke Belakang
Setiap
orang pasti memiliki masa lalu baik yang bagus maupun yang kelam. Termasuk
pasangan. Di masa lalu pun mungkin ada sepenggal kisah tak mengenakkan yang
pernah mewarnai rumah tangga. Jika tak
ingin terseret dalam arus negatif, lupakan hal-hal buruk yang pernah terjadi.
Sambutlah masa depan dengan senyuman. Setiap orang pernah melakukan kesalahan
dan berhak untuk menjadi lebih baik. Termasuk, jangan mengingat-ingat lagi
mantan orang yang dicintai saat belum menikah dulu. Tidak ada gunanya dan hanya
menghalangi kebahagiaan untuk hadir dalam kehidupan Bunda dan Sista.
2.
Selalu
Berpikir Objektif
Saat kalut
menghadapi suatu hal, kadang kala pikiran jadi ruwet dan segalanya tampak
suram. Ini terjadi jika Bunda dan Sista ikut terpancing secara emosional.
Padahal, masalah apapun itu, termasuk konflik dengan suami maupun anak-anak,
membutuhkan pikiran yang jernih untuk menyelesaikannya.
Apalagi
jika muncul pihak ketiga yang berusaha memprovokasi. Beri jeda waktu agar
pikiran menjadi dingin dan lepas dari segala beban emosional. Setelah merasa
tenang, barulah mencari solusi diawali dengan saling mendengarkan antara kedua
pihak.
3.
Fokus
Pada Kelebihan Pasangan
Artinya,
kita masih memiliki banyak kekurangan. Begitu pula dengan pasangan kita. Saat
masih gadis mungkin kita selalu berangan-angan tentang pendamping hidup yang
tampan, baik hati, terhormat dan berkecukupan. Namun setelah menjalani rumah tangga beberapa tahun, kita
mulai tahu sifat aslinya, kebiasaan buruknya yang mungkin membuat penilaian
kita menjadi berubah. Ternyata dia posesif, ternyata dia pelupa . Fokuslah pada
hal-hal baik ini. Kalaupun tidak bisa menyingkirkan keburukannya dari depan
mata, temukanlah alasan bahwa itu dibalik itu ada hikmahnya.
4.
Saling
Percaya
Kunci dari
sebuah hubungan adalah rasa percaya. Tanpa rasa saling percaya , kehidupan
rumah tangga tentu tak akan berjalan mulus. Rasa aman, nyaman, tenteram yang
menjadi salah satu tujuan pernikahan tidak akan muncul. Bagaimana bisa tenang
kalau Bunda dan Sista selalu gelisah, curiga dan khawatir memikirkan sedang apa
si dia di luar sana? Jangan-jangan dia ketemu sama klien yang cantik bukan
main, jangan-jangan dia melihat seseorang yang lebih solehah dan
membandingkannya dengan kita. Begitu pula jika suami berlaku demikian.
Kuncinya, selalu khusnudzan dan jangan sia-siakan kepercayaan yang diberikan
suami.
5.
Kebutuhan
Seks
Perkawinan
tanpa seks bisa dibilang seperti sayur tanpa garam. Hambar. Ya, seks memang
perlu. Dan meski aktivitas seks sebetulnya bertujuan untuk memperoleh
keturunan, namun manusia perlu juga mengembangkan seks untuk mencapai
kebahagiaan bersama pasangan hidupnya. Prinsip hubungan seks yang baik adalah
adanya keterbukaan dan kejujuran dalam mengungkapkan kebutuhan Anda
masing-masing. Intinya, kegiatan seks adalah untuk saling memuaskan, namun
perlu dihindari adanya kesan mengeksploitasi pasangan. Kegiatan seks yang
menyenangkan akan memberikan dampak positif bagi Bunda/Sista dan suami.
6.
Hindari
Pihak Ketiga
Setelah ijab
qabul terucap dan sah menjadi pasangan suami-istri, dalam tatanan masyarakat
Bunda/Sista telah diperhitungkan sebagai seorang ratu rumah tangga dari
keluarga yang dipimpin oleh suami. Saat ada urusan bermasyarakat, tak lagi
dianggap sebagai bagian dari keluarga lama tapi telah menjadi kelompok
tersendiri. Maka ketika timbul permasalahan, selesaikanlah berdua saja.
Tentunya suami-istri lebih banyak mengetahui keadaan dan arah rumah tangga ke
depan. Tak perlulah melibatkan orang lain. Banyak cerita tentang membesarnya
konflik justru setelah pihak ketiga terlibat maupun sengaja dilibatkan, entah
itu mertua, saudara ipar, tetangga, dan sebagainya.
Kalau pun ingin mendapat nasehat atau memiliki sudut pandang yang berbeda, maka mintalah pada seseorang yang sudah teruji pengalaman hidupnya, yang telah diketahui baik akhlaknya dan yang kemungkinan tidak akan melibatkan emosi pribadi dalam memberikan nasehat.
Kalau pun ingin mendapat nasehat atau memiliki sudut pandang yang berbeda, maka mintalah pada seseorang yang sudah teruji pengalaman hidupnya, yang telah diketahui baik akhlaknya dan yang kemungkinan tidak akan melibatkan emosi pribadi dalam memberikan nasehat.
7.
Menjaga
Romantisme
Terkadang,
pasangan yang sudah cukup lama membangun mahligai rumah tangga tak lagi
peduli pada soal yang satu ini. Padahal, menjaga romantisme dibutuhkan oleh
pasangan suami-istri sampai kapan pun, tak cuma ketika mereka berpacaran.
Sekedar memberikan bunga, mencium pipi, menggandeng tangan, saling memuji, atau
berjalan-jalan menyusuri tempat-tempat romantis akan kembali memercikkan rasa
cinta kepada pasangan hidup Anda. Tentu, ujung-ujungnya pasangan suami-istri
akan merasa semakin erat dan saling membutuhkan. Meski sepele, pujian atau perhatian sangat besar pengaruhnya
bagi suami lho, dan sebaliknya. Memberikan pujian ringan seperti “Masakan Mama
hari ini luar biasa, lho!” atau “Wah, Papa tambah keren pakai dasi itu.”
Ucapan-ucapan sepele seperti itu akan memberikan dorongan/semangat yang luar
biasa. Pasangan Anda pun akan merasa dihargai.
8.
Selalu
Utamakan Komunikasi
Komunikasi
juga merupakan salah satu pilar langgengnya hubungan suami-istri. Hilangnya
komunikasi berarti hilang pula salah satu pilar rumah tanga. Komunikasi yang
dimaksud disini bukan hanya ngobrol-ngobrol saja. Komunikasi beda lho sama
gantian bicara. Coba ingat-ingat deh Bunda/Sista, saat pernah mengalami masalah
rumah tangga, yang dilakukan bersama suami saat itu komunikasi atau gantian
bicara? Komunikasi ini dimaksudkan untuk saling mengerti, untuk menghilangkan
kan hal-hal berbau prasangka dan emosi. Menjaga komunikasi bisa diawali dengan
kebiasaan ngobrol dan duduk bersama. Sampaikan apa yang Bunda/Sista merasa
perlu diketahui suami atau anak. Buat iklim rumah tangga menjadi terbuka
sehingga tidak ada anggota keluarga yang merasa tidak didengarkan.
9. Jaga Spiritualitas Rumah Tangga
Salah satu
pijakan yang paling utama seseorang rela berumah tangga adalah karena adanya
ketaatan pada syariat Allah. Padahal, kalau menurut hitung-hitungan materi,
berumah tangga itu melelahkan. Justru di situlah nilai pahala yang Allah
janjikan. Ketika masalah nyaris tidak menemui ujung pangkalnya, kembalikanlah
itu kepada sang pemilik masalah, Allah SWT. Sertakan rasa baik sangka kepada
Allah SWT. Dan ambil hikmahnya dari setiap masalah. Membangun keluarga yang Sakinah
merupakan sebuah awalan yang baik untuk menciptakan kondisi masyarakat yang
ideal.
Adapun Ciri-ciri keluarga Sakinah
adalah sebagai berikut :
a.
Senantiasa memiliki kecenderungan
terhadap keagamaan dalam orientasi kehidupannya sehari-hari.
b. Berlakunya sistem “Yang muda
menghormati yang tua, yang tua menyayangi yang muda”.
c. Tidak melebih-lebihkan dalam
memenuhi kebutuhan keseharian.
d. Menjaga etika dan sopan santun dalam
bergaul di dalam masyarakat.
e. Senantiasa menjaga dan menginterospeksi
anggota keluarganya agar terhindar dari hal-hal yang munkar.
Hakikatnya, pada zaman modern ini
memang tidak mudah untuk membangun keluarga Sakinah, sebab percampuran budaya
yang sudah sangat melekat di dalam dinamika kehidupan masyarakat mengakitbatkan
ketimpangan sosial yang sangat signifikan dalam berperilaku, sehingga mayoritas
masyarakat yang terlalu nyaman dengan perkembangan zamanpun sedikit demi
sedikit meninggalkan pola hidup lama dan lebih memilih pola hidup baru yang
dibawa oleh dampak globalisasi. Untuk mewujudkan keluarga sakinah dengan cara:
a.
Memilih pasangan yang
Shaleh/Shalehah yang taat kepada perintah Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW.
- Mengutamakan keimanan dibandingkan penampilan dalam memilih pasangan.
- Melihat latar belakang keluarga dan nasab dari pasangan yang dipilih. Diutamakan yang memiliki nasab terjaga(baik) dan terhormat.
- Niatkan dari awal untuk beribadah kepada Allah SWT dan menjauhi segala hubungan yang dilarang-Nya.
- Berkomitmen untuk tetap menjaga keutuhan hubungan dalam rumah tangga.
- Sebagai suami, istri ataupun anak, menjalankan tugas dan fungsinya selaku anggota keluarga dengan sebaik-baiknya.
- Membiasakan nilai-nilai kerohanian dalam setiap aspek kehidupan di dalamnya.
- Menjaga komunikasi yang baik dalam segala urusan.
- Memelihara dan menjaga keharmonisan keluarga dengan masyarakat sekitar.
- Menanamkan nilai-nilai edukatif dalam setiap kegiatan keluarga
G.
Larangan
kekerasan dalam rumah tangga
Agama adalah ketentuan-ketentuan
Tuhan yang membimbing dan mengarahkan manusia menuju kebahagiaan dunia dan
akhirat. Tidak ada perbedaan dari segi asal kejadian baik laki-laki maupun
perempuan, artinya adanya kesetaraan/kebersamaan/kemintraan dan tidak akan
sempurna laki-laki kalau belum mempunyai
pasangan hidup (suami-isteri) begitu juga sebaliknya.
Al
Qur’an sebagai rujukan prinsip masyarakat Islam, pada dasarnya mengakui bahwa
kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama, dengan kata lain laki-laki
memiliki hak dan kewajiban terhadap perempuan dan sebaliknya perempuan juga
memiliki hak dan kewajiban terhadap laiki-laki.
Pada
dasarnya inti ajaran setiap agama, khususnya dalam hal ini Islam, sangat
menganjurkan dan menegakkan prinsip keadilan dan bahkan menghormati terhadap
perempuan, bahkan prinsip yang utama adalah menciptakan rasa aman dan tentram
dalam keluarga, sehingga tercipta rasa saling asih, saling cinta, saling
melindungi dan saling menyangi.
Al
Qur’an menggaris bawahi bahwa suami maupun isteri adalah pakaian untuk
pasangannya, hal ini di sebutkan Allah dalam Firmannya surah Al Baqarah ayat 187 “ Mereka
(isteri-isteri kamu) adalah pakaian bagi kamu (wahai para suami) dan kamupun
adalah pakaian bagi mereka”.
Dalam
kehidupan berumah tangga, prinsip menghindari adanya kekerasan baik fisik
maupun psikis sangat diutamakan, jangan sampai ada pihak dalam rumah tangga
yang merasa berhak memukul atau melakukan tindak kekerasan dalam bentuk apapun
dengan dalih atau alasan apapun baik terhadap suami-isteri ataupun anak. Hal
ini senada dengan UU PKDRT No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga, pasal 1 “Kekerasan dalam Rumah tangga adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaaan atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Islam
agama yang dengan visinya Rahmatan
Lil ‘Alamin, sangat menghargai kepada semua manusia, khususnya kepada
perempuan. Hadirnya Islam sebagai agama pembebas dari ketertindasan dan
penistaan kemanusiaan yang membawa misi untuk mengikis habis praktik-praktik
tersebut. Dalam Islam manusia baik laki-laki dan perempuan adalah sebagai
makhluk Tuhan yang bermartabat (human dignity di mana parameter
kemuliaan seorang manusia tidak diukur dengan parameter biologis sebagai
laki-laki atau perempuan, tetapi kualitas dan nilai seseorang diukur dengan
kualitas taqwanya kepada Allah. (Lihat surah Al Hujurat ayat 13).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Orang tua merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak,
karena merekalah anak mula-mula menerima pendidikan-pendidikan serta anak mampu
menghayati suasana kehidupan religius dalam kehidupan keluarga yang akan
berpengaruh dalam perilakunya sehari-hari yang merupakan hasil dari bimbingan
orang tuanya, agar menjadi anak yang berakhlak mulia, budi pekerti yang luhur
yang berguna bagi dirinya demi masa depan keluarga agama, bangsa dan negara.
B. Saran
Hendaklah orang tua selalu memberikan perhatian yang jenuh
kepada anaknya dalam membina akhlak bukan hanya menyuruh anak agar melakukan
perbuatan yang baik tetapi hendaklah orang tua selalu memberikan contoh yang
baik bagi anak-anaknya
Serta orang tua tampil selalu tauladan baik, membiasakan berbagai bacaan dan menanamkan kebiasaan memerintah melakukan kegiatan yang baik, menghukum anak apabila bersalah, memuji apabila berbuat baik, menciptakan suasana yang hangat yang religius (membaca Al-Qur'an, sholat berjamaah, memasang kaligrafi, Do'a-Do'a dan ayat-ayat Al-Qur'an).
Serta orang tua tampil selalu tauladan baik, membiasakan berbagai bacaan dan menanamkan kebiasaan memerintah melakukan kegiatan yang baik, menghukum anak apabila bersalah, memuji apabila berbuat baik, menciptakan suasana yang hangat yang religius (membaca Al-Qur'an, sholat berjamaah, memasang kaligrafi, Do'a-Do'a dan ayat-ayat Al-Qur'an).
DAFTAR PUSTAKA
Moh. Shochib, Pola Asuh Orang Tua, Jakarta: Rineka Cipta,
2000
Barsihannor, Studi Agama-Agama
di Perguruan Tinggi. Makassar: UIN Press, 2010.
Ramayulis, Pendidikan Islam dalam Rumah Tangga,
Jakarta ; Kalam Mulia, 2001
A. Syifaul Qulub, Pendidikan Agama
Islam untuk Pendidikan Perguruan Tinggi, Jakarta, Laros, 2010
Khairuddin Bashori, Psikologi Keluarga Sakinah,
Yogyakarta, Suara Muhammadiyah, 2006
Majelis Tabligh, Gender dalam Islam, Yogyakarta,
Pimpinan Pusat Aisyiyah ; 2010
Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih,
Yogyakarta, Belukar; 2004
Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan,
Yogyakarta, LKIS; 2004
Quraih Shihab, Wanita Dalam Islam, Jakarta,
Lentera Hati ; 2010
Departemen Agama, Al Qur’an dan Terjemahnya
terimakasih kak makalah sungguh bermanfat
BalasHapusSama2 kak. Semoga berkenan
HapusTerimakasih kka makalahnya sangat bermanfaat
BalasHapusSama-sama kak. Senang bisa membantu
Hapusizin copas kak
BalasHapusIkut sertakan website blogger saya ya kak. Terima kasih
Hapus